SISTEM SILVIKULTUR HUTAN RAWA GAMBUT

Oleh: Ahmad Sanusi
E-mail : sanusi_eneste@yahoo.com

Rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau letak yang menjorok masuk (intake) ke pedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang. Dalam pengertian yang lebih luas, rawa digolongkan sebagai lahan basah (wet lands) atau lahan bawahan (low lands), Lahan gambut merupakan salah satu contoh lahan rawa (Noor, 2004). Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut (Sagiman, 2007)
Lahan rawa gambut dinilai tidak saja “Marginal” tetapi juga “fragile”, tingkat kesuburan tanah gambut ditentukan oleh sifat fisik, tingkat kematangan dan susunan haranya, sifat kimia tanah gambut sangat beragam, umumnya kandungan N, bahan organik, dan C/N ratio adalah tinggi. Kemasaman merupakan salah satu kendala paling inherence dalam usaha perbaikan beberapa lahan ini.
Kerusakan hutan rawa gambut saat ini disebabkan oleh:
1. Tidak memperhatikan karakteristik Ekosistem
2. Over Eksploitasi
3. Pembakaran
4. Konversi

Untuk memperbaiki kerusakan tersebut perlu dilakukan tindakan secara silvikultur yang baik.

Sistem Silvikultur
1. Pemilihan Jenis Tanaman
Pemilihan jenis tanaman merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan hutan rawa gambut, karena pertumbuhan jenis tanaman sanagt tergantung dengan kondisi tapaknya, jika tanaman sesuai dengan kondisi tapak dan iklim mendukung maka upaya pengelolaan lebih efisien dan efektif, menurut Istomo (2004) Beberapa jenis tanaman khas rawa gambut adalah:
• Tumih (Combretocarpus ratundus)
• Mahang (Macaranga spp.)
• Pulai (Alstonia pneumatophora)
• Milas (Parastemon urophyllum)
• Balam-suntai (Palaquium spp.)
• Terentang (Camnosperma coreaceum)
• Geronggang (Cratoxylon arborencens)
• Simpur (Dillenia excelsa)
• Jelutung (Dyera lowii)
• Gelam (Melaleuca cajuputi)
• Ramin (Gonystylus bancanus)
• Meranti batu (Shorea uliginosa)
Jika kita lihat dari segi tujuan perlindungan, pola pembuatan tanaman secara campur (mix-forest) akan lebih menguntungkan, dengan penanaman hutan secara campur tersebut, akmulasi serasah sebagai salah satu penunjang kebakaran hutan dapat diperkecil dengan catatan seperti curah hujan, suhu dan organisme renik cukup mendukungnya (Sumardi dan Widyastuti, 2002).

2. Pengelolaan Air
Hutan Rawa gambut dipengaruhi oleh pasang surut air, sehingga kondisinya relatif tergenang, untuk budidaya jenis beberapa jenis tanaman hal ini juga berpengaruh terhadap pertumbuhannya dan perlindungannya dari kebakaran. Oleh sebab itu pembuatan parit-parit kecil di hutan rawa gambut merupakan salah satu teknik yang sering digunakan dalam draenase daerah rawa gambut.Gambut cukup rentan terhadap bahaya kebakaran oleh sebab itu pada musim kemarau, parit-parit dibendung agar kondisi draenase tetap terpelihara dengan baik.

3. Perbaikan Sifat Kimia, Fisika, dan Biologi tanah Gambut.
Proses pembentukan gambut terjadi baik pada daerah pantai maupun di daerah pedalaman dengan fisiografi yang memungkinkan terbentuknya gambut, oleh sebab itu kesuburan gambut sangat bervariasi, gambut pantai yang tipis umumnya cukup subur, sedang gambut pedalaman seperti di Bereng Bengkel Kalimantan Tengah kurang subur (Sagiman,2007)
Secara teoritis permasalahan pengelolaan lahan gambut sesungguhnya disebabkan oleh drainase yang jelek, kemasaman gambut tinggi, tingkat kesuburan dan kerapatan lindak gambut yang rendah. Kemasaman gambut yang tinggi dan ketersediaan hara serta kejenuhan basa (KB)yang rendah menyebabkan pertumbuhan tanaman di lahan gambut sangat rendah.Tanaman tumbuh normal pada pH 5,5 untuk tanah gambut, untuk mengurangi kemasaman tanah gambut dapat dilakukan dengan pengapuran dan untuk gambut yang miskin hara dapat dilakukan dengan pemupukan.

Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting adalah: tingkat dekomposisi tanah gambut; kerapatan lindak, irreversible dan subsiden. Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut
merupakan sifat-sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut.
Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi: (1)
gambut kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar;
(2) gambut sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan (3) gambut halus
(Saprist) jika bahan organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar mempunyai porositas
yang tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik
dan sulit tersedia bagi tanaman, draenase merupakan salah satu tindakan dalam pengelolaan sifat fisik
Untuk perbaikan sifat biologi tanah yang lebih baik, saat ini dilakukan dengan inokulasi mikroba pelapuk yang dapat merombak bahan organik dengan cepat, seperti jenis penicilium,micoriza dan rhizhobium dan Pseudomonas. Bakteri-bakteri tersebut juga dapat menambat unsur-unsur sehingga dapat memperbaiki kondisi kimia tanah.

DAFTAR PUSTAKA
Harjowigeno,S. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian suatu peluang dan
tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.22 Juni 1996

Noor,M. 2004, Lahan Rawa,Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Masam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sagiman, S. 2007, Pemanfaatan Lahan Gambut dalam Perspektif Pertanian Berkelanjutan, Fakultas Pertanian, Universitas Tanjung Pura, Pontianak.

Sumardi dan Widyastuti,SM. 2002. Perlindungan Hutan, UGM Press. Yogyakarta

***** Catatan :Untuk IUPHHK dan HTI di rawa Gambut sistem silvikultur mengacu kepada “ Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut yaitu sistem tebang pilih ((Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 24/Kpts/IV-set/96 untuk hutan rawa gambut )