EKONOMI PETASAN

Alhamdulilah, saat ini kita berada di bulan Syawal, bulan kemenangan bagi orang yang menjalankan puasa sebulan penuh.  Dari bulan Ramadhan hingga ke bulan Syawal  kalau kita perhatikan cukup banyak tumbuh dan berkembang berbagai usaha kecil terutama di daerah pedesaan seperti penjual makanan, usaha baru kelontong, penjual souvenir dan berbagai usaha lainnya. Dalam hal ini berarti ada momentum yang membuat masyarakat kita membuka usaha ini.  Selama ini uang yang beredar sebagian besar di Kota, karena momentum lebaran, sebagian dari uang  tersebut beredar ke Desa, sehingga timbul minat masyarakat desa untuk menciptakan lapangan usaha baru.

Jika melihat beberapa trend lebih kurang sepuluh tahun terutama di daerah Mandailing Natal dan beberapa daerah di Sumatera Utara, Ekonomi kecil seperti usaha warung lontong, usaha souvenir tidak segairah dulu. Justru yang paling berjaya dalam dua bulan terakhir ini adalah pengusaha petasan. Mulai dari bulan Ramadhan hingga beberapa hari dalam bulan ini dimeriahkan oleh petasan. Bahkan  Suara petasan lebih meriah dari Suara  takbir. Naudzubillah.

Saat ini petasan, telah menjadi icon dari beberapa hari besar dan upacara-upacara kebesaran di Negara kita, dan kalau tidak ada petasan ibarat sebuah makanan tanpa rasa. Sehingga wajarlah keadaan ekonomi kita seperti bunyi petasan. Segala kebiasaan yang dijalankan terus menerus akan menjadi budaya, sehingga suatu saat nanti akan timbullah budaya petasan, ekonomi petasan, perilaku petasan di kalangan masyarakat kita.

Pergeseran paradigma saat ini, kalau kita hitung-hitung secara ekonomi telah menimbulkan kerugian bagi pelaku petasan dan yang menyaksikan petasan tersebut. Sipelaku petasan rela mengeluarkan uang ratusan ribu bahkan jutaan untuk membeli petasan, tidak seperti saya dulu hanya bermodalkan bambu, sehelai kain, dan sedikit minyak tanah untuk bermain meriam bambu. Padahal suara meriam bamboo tidak kalah dengan suara petasan. Bahkan penjajah pada masa peperangan kemerdekaan takut dengan meriam bambu.

Bagi yang menyaksikan petasan tidak sedikit yang masuk rumah sakit karena luka bakar, dan bagi yang mendengarnya tidak sedikit pula yang mati mendadak. Luar biasa, budaya petasan dengan mudah masuk ke negeri ini menyingkirkan budaya meriam bambu yang telah terkenal sejak zaman naga bonar.

Sekarang , mari kita menghitung-hitung secara ekonomi berapa dana yang terbuang untuk bermain petasan. Saat ini untuk bermain satu bungkus kecil petasan sama dengan harga satu piring lontong. Jika harga satu piring lontong adalah Rp 5.000,- maka harga satu bungkus untuk suara satu kali dor adalah Rp 5.000,-. Jika terjadi suara dor sebayal lima kali, berarti seoarang telah menyia-nyiakan uang sebanyak Rp 25.000,-. Berapa oarng yang bermain petasan? Kalau dalam sekampung ada 100 orang yang bermain petasan. Sudah berapa dana terbuang sia-sia? Bagaimana kalau duit tersebut kita gunakan untuk bersedekah, membantu keluarga kita yang kurang mampu? Bukankah uang sebanyak Rp 2.500.000,- sudah mempunyai nilai ekonomi yang cukup besar untuk membantu satu keluarga tidak mampu di kampung kita. Suatu kebahagiaan bagi mereka ikut berbahagia dan bergembira menyambut hari kemenangan ini. Apalagi dana tersebut bisa mereka gunakan untuk membuka usaha produktif dengan modal kecil, misalnya buka warung sarapan pagi.

Tanpa kita sadari, terkadang sesuatu yang kita anggap kecil dan tidak bermanfaat memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Sedekah maupun zakat mempunyai gelombang yang luar biasa dalam meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat. Sudah banyak contoh di dunia ini yang mengajarkan kepada kita untuk hidup berderma dan mengasihi sesama akan mendatangkan kebaikan bagi sipelakunya, dan begitu pulalah sebaliknya.

Lantas bagaimana nantinya kalau puasa dan lebaran tidak bermain petasan? Apakah tidak meriah? Saya yakin sangat meriah, apalagi kalau lebaran kita agungkan dengan mengumandangkan takbir di setiap waktu, Allahu Akbar,.. akan mendatangkan kenyaman tersendiri bagi kita.

Selanjutnya, apa yang perlu kita lakukan untuk mencegah budaya petasan ini? Mungkin cukup banyak solusinya, berikut beberapa hal yang bias kita tawarkan, antara lain:

Peran Pemerintah setempat, mungkin banyak yang bertanya, kenapa sedikit-sedikit pemerintah? Sebenarnya pemerintah adalah pemegang kendali dari beberapa produk yang beredar di pasaran. Kalau tidak ada izin harus ditindak tegas dan diberikan sanksi, apalagi terlebih lebih menyebabkan kerusakan dan ketidaktentraman. Sama halnya dengan narkoba, tidak punya izin dan merusak tatanan kehidupan.

Peran Tokoh Masyarakat dan Pemuka Agama, tokoh masyarakat dan pemuka agama adalah salah satu garda terdepan pembangunan masyarakat kita. Tokoh masyarakat dan alim ulama di masyarakat kita adalah orang yang perkataannya harus dipatuhi, dan didengarkan. Maka bukan sesuatu yang mengherankan bila ustadz dan tokoh masyarakat banyak pengikutnya. Kalau tokoh masyarakat dan pemuka agama bilang “ Dikampung ini dilarang Main Petasan” saya yakin tidak akan ada yang main petasan. Siapa yang melanggar pasti akan menerima hukuman maupun sanksi dalam masyarakat.

Peran Keluarga, Keluarga adalah ujung tombak menciptakan insan yang berkualitas, semuanya dimulai dari keluarga, budaya hidup seseorang sebagian besar dipengaruhi oleh keluarga. Seorang anak , besar dan terdidik adalah sumbangsih keluarga, kalau seorang anak berhasil, yang dilihat adalah keluarganya, dan sebaliknya jika seorang anak buruk, yang dilihat adalah keluarganya.

Terlepas dari peran siapapun itu, yang pasti harus dimulai saat ini, dan dari diri sendiri. Mudah-mudahan tulisan ini member manfaat buat kita semuA. WASSALAM

Tinggalkan komentar